Jumat, 13 Mei 2016

Undelivered Letters and Apology



 
Last night, I just called a friend of mine. Whining.


“Bro, umm.. If, if your girlfriend left you without any obvious reason for the whole three months, what will you do?”

“Is this all about you? Udaaah, ga usah sok-sok nutupin gitu ke gue. Just be honest.” ask him retorically.

“Hahaha! Shots fired. Heck yeah, that’s me. You know me too well.”

Iya, yang di atas itu percakapan saya sama temen saya beberapa hari yang lalu dan itu yang terjadi dalam kisah cinta saya sekarang. *sigh*

It’s been a year. But I never called or text him in the past three months (or four). He did. But he stopped trying, mungkin dia udah nyerah karena saya ga berusaha membalas chat ataupun mengangkat telfon dari dia.

Saya jarang banget nelfon temen cuma buat hal-hal sepele. Saya bukan tipe tukang telfon. Saya bakal jadi orang yang ngebosenin di telfon, kurang responsif, less talkative, dan suka asik sendiri. Tapi kali ini saya beneran mampet, ga tau mau gimana dan cerita ke siapa, sementara makin hari masalahnya makin membebani.

“Gue ngerasa bersalah banget. I can’t sleep. It haunts me everynight. Gue mimpiin ini al-most e-ve-ry-night.”

“Trus?” tanyanya.

“Gue pengen minta maaf. Tapi ini yang selalu gue takutkan dari dulu: gue gak sanggup denger jawabannya.”

I am very, very coward. Gue selalu takut dengan segala kemungkinan. I hate infinite probability. Screw Schrӧdinger and his guinea pig―or cat, whatever.

“Ngapain lo cari lagi apa yang udah lo buang?” he said very clear.

I was startled. Segitunya parahnya kah masalah ini dalam perspektif orang lain? Membuang? I never thought I dumped anyone. Saya hanya pergi, tapi membuang? No, no, I never planned to do this.

I’m not gonna throw some victimizing question like ‘Am I wrong?’, I’m just going to swallow down all of the guilty by myself. I know I’m wrong. And this is unforgivable. Saya memikirkan ulang semuanya. Sudah beberapa bulan saya berencana untuk menghubungi kembali dan meminta maaf, but it never happened. Saya gak punya nyali.

May be you’re all asking why did I leave in the first place. Nope, he’s not an asshole. Dia juga nggak selingkuh. Dia orang yang paling baik sejauh ini. He treated me right, he understands me and all of my negative traits. And then, why?

I just lost my sparks.

Maybe.


Mungkin karena kami sama-sama sibuk, dia sibuk dengan seabrek-abrek kegiatannya, band, kuliah, basket, bulutangkis, hockey, saya sibuk kuliah dan segala tetek-bengeknya. Yang waktu liburan bisa telfonan berapa jam, akhirnya cuma dua hari sekali dan semakin lama semakin sedikit frekuensi chatnya. Ditambah jarak. Jarak dan waktu. Jarak. Waktu. Timing and distance is indeed a bitch.

But I never said goodbye.

A half of me just don’t want to.

And the other half has no guts to say it.

I regret everything. It shouldn’t have to be like this.

I cursed myself everytime I get the chance.

Malam ini, ketika saya mengambil notebook di antara jajaran buku-buku di atas meja belajar, mata saya bertemu dengan sesuatu. A box of letters. Yang gak pernah sampai ke tujuan.

It was meant to be his birthday gift on September last year.

Saya letakkan kembali notebook saya di atas meja, teralihkan oleh kotak merah berpita itu, dan saya baca ulang semuanya.


OPEN WHEN
YOU’RE THINKING OF OUR FUTURE TOGETHER

FYI,

I’m thinking of our future together too.

I will finish my degree and become a dentist.

You, will earn your master’s degree or you’ll have a job you’ve been dreaming of.

You may still want to be a commercial airline pilot and you’ll get employed.

I’m planning to take the dental residency program, call it in Java or abroad.

We will travel a lot. To Hongkong, maybe, or Paris, or Santorini, Monte Carlo, Verona, Maldives, Tokyo, Osaka, Manchester, Prague, or Budapest.

I never told this to anyone, you’re the first ever to hear this.

I want to get involved in volunteering job. Dimana pun itu.

Aku pengen lihat sisi bumi yang lain.

Kita bakal punya bisnis sendiri yang sukses, bisa menghidupi anak cucu tujuh turunan.

I dare you to dream big too.

But to go there, it won’t be easy. It’s going to be a long road and someday you might be bored.

But I trust you.

So believe and trust me too.


Saya lipat surat terakhir itu baik-baik, dan memasukkannya kembali dalam amplop. Masih rapi dan halus. Surat yang berisi cita-cita kami dulu.

‘So believe and trust me too’ I said? 

Lol what a joke, me.

You don’t deserve him.