…
“Bro, umm.. If, if your girlfriend
left you without any obvious reason for the whole three months, what will you
do?”
“Is this all about you? Udaaah, ga
usah sok-sok nutupin gitu ke gue. Just be honest.” ask him retorically.
“Hahaha! Shots fired. Heck yeah,
that’s me. You know me too well.”
Iya, yang di atas itu percakapan
saya sama temen saya beberapa hari yang lalu dan itu yang terjadi dalam kisah
cinta saya sekarang. *sigh*
It’s been a year. But I never called
or text him in the past three months (or four). He did. But he stopped trying,
mungkin dia udah nyerah karena saya ga berusaha membalas chat ataupun
mengangkat telfon dari dia.
Saya jarang banget nelfon temen cuma
buat hal-hal sepele. Saya bukan tipe tukang telfon. Saya bakal jadi orang yang
ngebosenin di telfon, kurang responsif, less talkative, dan suka asik sendiri.
Tapi kali ini saya beneran mampet, ga tau mau gimana dan cerita ke siapa, sementara
makin hari masalahnya makin membebani.
“Gue ngerasa bersalah banget. I
can’t sleep. It haunts me everynight. Gue mimpiin ini al-most e-ve-ry-night.”
“Trus?” tanyanya.
“Gue pengen minta maaf. Tapi ini
yang selalu gue takutkan dari dulu: gue gak sanggup denger jawabannya.”
I am very, very coward. Gue selalu
takut dengan segala kemungkinan. I hate infinite probability. Screw Schrӧdinger
and his guinea pig―or cat, whatever.
“Ngapain lo cari lagi apa yang udah
lo buang?” he said very clear.
I was startled. Segitunya parahnya
kah masalah ini dalam perspektif orang lain? Membuang? I never thought I dumped
anyone. Saya hanya pergi, tapi membuang? No, no, I never planned to do this.
I’m not gonna throw some victimizing
question like ‘Am I wrong?’, I’m just going to swallow down all of the guilty
by myself. I know I’m wrong. And this is unforgivable. Saya memikirkan ulang
semuanya. Sudah beberapa bulan saya berencana untuk menghubungi kembali dan
meminta maaf, but it never happened. Saya gak punya nyali.
May be you’re all asking why did I
leave in the first place. Nope, he’s not an asshole. Dia juga nggak selingkuh.
Dia orang yang paling baik sejauh ini. He treated me right, he understands me
and all of my negative traits. And then, why?
I
just lost my sparks.
Maybe.
…
Mungkin karena kami sama-sama sibuk,
dia sibuk dengan seabrek-abrek kegiatannya, band, kuliah, basket, bulutangkis,
hockey, saya sibuk kuliah dan segala tetek-bengeknya. Yang waktu liburan bisa
telfonan berapa jam, akhirnya cuma dua hari sekali dan semakin lama semakin
sedikit frekuensi chatnya. Ditambah jarak. Jarak dan waktu. Jarak. Waktu.
Timing and distance is indeed a bitch.
But I never said goodbye.
A half of me just don’t want to.
And the other half has no guts to
say it.
I regret everything. It shouldn’t
have to be like this.
I cursed myself everytime I get the
chance.
Malam ini, ketika saya mengambil
notebook di antara jajaran buku-buku di atas meja belajar, mata saya bertemu
dengan sesuatu. A box of letters. Yang gak pernah sampai ke tujuan.
It was meant to be his birthday gift
on September last year.
Saya letakkan kembali notebook saya
di atas meja, teralihkan oleh kotak merah berpita itu, dan saya baca ulang
semuanya.
OPEN
WHEN
YOU’RE
THINKING OF OUR FUTURE TOGETHER
FYI,
I’m
thinking of our future together too.
I
will finish my degree and become a dentist.
You,
will earn your master’s degree or you’ll have a job you’ve been dreaming of.
You
may still want to be a commercial airline pilot and you’ll get employed.
I’m
planning to take the dental residency program, call it in Java or abroad.
We
will travel a lot. To Hongkong, maybe, or Paris, or Santorini, Monte Carlo,
Verona, Maldives, Tokyo, Osaka, Manchester, Prague, or Budapest.
I
never told this to anyone, you’re the first ever to hear this.
I
want to get involved in volunteering job. Dimana pun itu.
Aku
pengen lihat sisi bumi yang lain.
Kita
bakal punya bisnis sendiri yang sukses, bisa menghidupi anak cucu tujuh
turunan.
I
dare you to dream big too.
But
to go there, it won’t be easy. It’s going to be a long road and someday you
might be bored.
But
I trust you.
So
believe and trust me too.
Saya lipat surat terakhir itu baik-baik,
dan memasukkannya kembali dalam amplop. Masih rapi dan halus. Surat yang berisi
cita-cita kami dulu.
‘So believe and trust me too’ I
said?
Lol what a joke, me.
You don’t deserve him.